PASAMAN | Proyek Rehabilitasi Daerah Irigasi (DI) Panti Rao di Kabupaten Pasaman yang dibiayai negara sebesar Rp27 miliar pada Tahun Anggaran 2025 kini menyeruak menjadi skandal publik. Di lapangan, proyek yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan petani justru meninggalkan jejak dugaan penyimpangan serius dan pelanggaran terhadap sejumlah undang-undang.
Pantauan tim di lokasi menunjukkan pekerjaan fisik yang jauh dari standar. Material brikes dipasang asal-asalan, saluran tidak rapi, serta plang proyek—yang menjadi kewajiban hukum—tidak ditemukan sama sekali. Pengerjaan tanpa papan informasi jelas merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 25 ayat (1) tentang kewajiban mencantumkan nama proyek, nilai kontrak, sumber dana, dan pelaksana kegiatan sebagai bentuk keterbukaan publik.
Lebih jauh, penghentian total aliran irigasi selama proses rehabilitasi membuat ribuan petani terancam gagal panen. Warga menilai kontraktor tidak memperhitungkan dampak sosial ekonomi masyarakat.
“Air irigasi ditutup tanpa koordinasi. Sawah kami kering, tanaman padi rusak. Proyek ini seolah hanya mengejar waktu dan uang, bukan manfaat untuk petani,” ujar seorang warga Nagari Panti dengan nada kesal.
Aktivis kebijakan publik Pasaman menegaskan bahwa praktik semacam ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3, yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang merugikan keuangan negara.
“Jika benar proyek ini dikerjakan tanpa standar mutu dan transparansi, maka kontraktor dan pihak pengawas dapat dijerat hukum. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi indikasi korupsi terselubung,” tegas seorang pemerhati hukum publik.
Selain itu, tidak adanya plang proyek juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang menjamin hak masyarakat mengetahui penggunaan uang negara. Dengan tidak menampilkan identitas pelaksana dan nilai kontrak, kontraktor dinilai menutupi informasi publik yang seharusnya terbuka.
Polemik proyek ini menimbulkan pertanyaan serius terhadap Balai Wilayah Sungai (BWS) V Sumatera Barat sebagai pemberi pekerjaan. Apakah pengawasan dijalankan sesuai prosedur, atau justru ada pembiaran terhadap praktik pelanggaran di lapangan?
Kini, sorotan publik tertuju pada kontraktor pelaksana dan pihak BWS V Sumbar. Masyarakat menuntut transparansi penuh: buka data proyek, tunjukkan dokumen kontrak, dan buktikan bahwa setiap rupiah dari dana Rp27 miliar itu benar-benar dikerjakan sesuai aturan dan manfaatnya dirasakan petani.
“Kami tak butuh proyek mahal yang hanya jadi monumen gagal panen. Kami butuh keadilan dan kejujuran dalam setiap pekerjaan pemerintah,” pungkas seorang tokoh masyarakat setempat.
Catatan Redaksi:
Media ini masih berupaya mengonfirmasi pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) V Sumatera Barat dan kontraktor pelaksana proyek Rehabilitasi DI Panti Rao. Hak jawab dan klarifikasi akan dimuat sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta prinsip jurnalisme berimbang.
Undang-Undang yang Diduga Dilanggar:
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 3)
- UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Perpres No. 70 Tahun 2012 Pasal 25 ayat (1) tentang Kewajiban Pemasangan Papan Informasi Proyek
Bersambung....
TIM

0 Komentar