SOLOK SELATAN | Deru ekskavator memecah sunyi tepian Sungai Batang Hari, di kawasan Jorong Sungai Penuh, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Kabupaten Solok Selatan. Dari kejauhan tampak jelas aktivitas alat berat yang mengeruk tanah dan menimbun material di sepanjang tepian sungai. Di sisi lain, beberapa pekerja lokal terlihat menunggu hasil olahan dari rakit kayu yang berfungsi sebagai tempat penyaringan emas.

Pemandangan itu terekam dalam sejumlah foto dan video yang beredar luas di media sosial. Diduga kuat, lokasi tersebut merupakan tambang emas tanpa izin (ilegal) yang telah beroperasi sejak beberapa bulan terakhir. Warga menyebut, aktivitas itu kian masif dalam dua pekan terakhir — bahkan berlangsung pada siang bolong tanpa upaya penertiban.

Aktivitas Terbuka, Aparat Seolah Tutup Mata

Fakta lapangan menunjukkan, aktivitas tambang tersebut tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sejumlah alat berat jenis ekskavator bekerja leluasa di area terbuka. Tenda biru berdiri di sisi gundukan tanah, menandai pusat aktivitas para pekerja. Tak jauh dari lokasi, beberapa kendaraan roda dua dan truk kecil tampak hilir mudik.

“Kami sudah berulang kali melapor. Tapi tidak ada tindakan nyata. Mereka tetap bekerja,” ujar seorang warga Sungai Penuh kepada awak media ini, Selasa (14/10/2025).
Menurutnya, sebagian pekerja berasal dari luar daerah dan diketahui beroperasi menggunakan bahan bakar yang dipasok dari wilayah sekitar.

Warga kini geram. Mereka menilai Polres Solok Selatan dan Pemerintah Kabupaten lamban menindaklanjuti temuan tersebut, padahal bukti aktivitas tambang jelas terlihat. Bahkan, beberapa kali warga memergoki truk mengangkut material hasil tambang melintasi jalan kampung tanpa pengawasan.

Ancaman Serius bagi Lingkungan dan Warga

Tambang emas ilegal ini tak hanya merusak bentang alam, tapi juga mengancam ekosistem Sungai Batang Hari yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Lumpur dan sisa material tambang dialirkan langsung ke sungai, menyebabkan kekeruhan air meningkat drastis.

“Kami sudah tidak berani memakai air sungai untuk mandi atau mencuci. Warnanya berubah, kadang keabu-abuan,” keluh warga lainnya dari Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan.

Kondisi ini diperparah dengan posisi area tambang yang berada di lahan miring dekat aliran sungai. Bila hujan deras turun, risiko longsor dan banjir lumpur sangat mungkin terjadi — mengancam keselamatan warga di hilir.

Dugaan “Beking” dan Tantangan Penegakan Hukum

Masyarakat menduga, keberanian para pelaku menjalankan tambang di lokasi terbuka itu tak lepas dari adanya “beking” atau pelindung yang membuat aparat sulit menindak. Ungkapan keras muncul di media sosial:

“Siapapun warga disini tanpa terkecuali tahu siapa beking tambang ilegal di Solok Selatan!”

Seruan itu menjadi bentuk keputusasaan warga terhadap lemahnya penegakan hukum di daerah mereka.

“Kalau tidak ada yang melindungi, mana mungkin alat berat bisa bekerja di lokasi tanpa izin selama berbulan-bulan?” kata salah seorang tokoh masyarakat setempat.

Warga kini mendesak Polda Sumatera Barat untuk turun tangan langsung. Mereka berharap penegakan hukum dilakukan secara menyeluruh — bukan hanya menghentikan kegiatan tambang, tetapi juga menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam rantai perizinan, pemasok bahan bakar, hingga pihak yang menikmati keuntungan di balik layar.

UU yang Dilanggar

Berdasarkan fakta di lapangan, kegiatan tambang emas ilegal tersebut berpotensi melanggar sejumlah aturan penting, di antaranya:

  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

    • Pasal 158: Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

    • Pasal 98 ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang membahayakan manusia, dapat dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.

Tuntutan Masyarakat dan Langkah yang Diharapkan

Masyarakat Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan kini menaruh harapan besar kepada Kapolda Sumatera Barat dan Kapolres Solok Selatan agar segera mengambil tindakan nyata. Penertiban total terhadap tambang emas ilegal dinilai mendesak, karena dampaknya sudah mulai dirasakan langsung oleh warga.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Solok Selatan diminta tidak hanya mengeluarkan imbauan, tapi turun langsung ke lapangan melakukan pendataan, menutup jalur distribusi bahan bakar, dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian serta dinas lingkungan hidup.

“Jangan tunggu bencana baru bergerak. Kami ingin daerah kami bersih dari tambang liar,” tegas salah satu warga dalam pertemuan informal di jorong setempat.

Catatan Redaksi:

Media ini memantau langsung laporan dan dokumentasi dari lokasi yang menunjukkan keberadaan alat berat dan aktivitas tambang di Solok Selatan. Pihak Polres Solok Selatan, Polda Sumbar, dan Pemkab Solok Selatan diharapkan memberikan klarifikasi dan langkah penanganan atas temuan ini.
Kami membuka ruang bagi semua pihak terkait untuk memberikan keterangan resmi sebagai bentuk keterbukaan publik.

Alat Berat Bekerja di Pinggir Sungai, Dugaan Tambang Ilegal di Solok Selatan Kembali Menguat

Polres dan Pemkab Solok Selatan Dinilai Lalai, Tambang Ilegal Dibiarkan Merusak Alam

Warga Lubuk Ulang Aling Selatan Resah: “Kami Tak Butuh Emas, Kami Butuh Air Bersih”

Tambang Liar di Hulu Batang Hari Diduga Dilindungi Oknum, Warga Tuntut Keadilan

TIM