PADANG | Suasana sore Minggu, 27 Juli 2025, di Bungus Teluk Kabung mendadak berubah mencekam. Jeritan pekerja pecah di sekitar proyek penggantian Jembatan Aia Gadang. Davit (43), buruh lepas yang sehari-hari mengandalkan tenaganya untuk upah harian, tiba-tiba jatuh dan mengalami patah parah pada kaki kirinya.

Waktu menunjuk sekitar pukul 16.30 WIB. Dalam kondisi panik, rekan-rekan kerjanya bergegas menolong dan membawanya ke Rumah Sakit Tentara (RST) Padang. Operasi besar pun dilakukan: tulang kakinya kini ditopang oleh pen logam. Hidup Davit berubah drastis—ia tidak lagi bisa bekerja sebagaimana biasa, sementara keluarga menunggu di rumah dengan segudang kebutuhan.

Padahal proyek yang dikerjakan PT Arupadhatu Adisesanti ini bukan proyek kecil. Nilainya mencapai Rp12,678 miliar, dengan pengawasan melekat dari BPJN II Sumbar. Ironisnya, di balik gemerlap angka miliaran rupiah, keselamatan buruh justru diperlakukan sebagai formalitas belaka.

Petugas K3 Hanya Nama: Absen Saat Dibutuhkan

Hasil penelusuran mengungkap fakta telak: Tasya, petugas keselamatan kerja (K3) yang ditunjuk kontraktor, tidak hadir setiap hari di lokasi proyek. Kehadirannya sporadis, sekadar menggugurkan kewajiban administratif.

Celakanya, pada saat Davit terjatuh, Tasya pun tidak berada di tempat. Buruh dibiarkan bekerja tanpa pengawasan K3 yang semestinya menjadi benteng pertama pencegahan kecelakaan. Penanganan darurat pun dilakukan seadanya, hanya oleh rekan-rekan pekerja yang panik.

“Kalau petugas K3 tidak selalu hadir, lalu siapa yang menjaga keselamatan buruh? Apalagi waktu Davit celaka, Tasya pun tidak ada. Ini jelas kelalaian,” ungkap seorang pekerja di lokasi.

APD Minim: Helm, Sepatu Safety, dan Rompi Tidak Disiplin

Selain absennya pengawasan K3, investigasi lapangan juga menemukan minimnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di lokasi proyek.

Beberapa pekerja terlihat bekerja tanpa helm proyek, hanya mengenakan topi kain seadanya. Banyak pula yang tidak menggunakan sepatu safety, sehingga rentan terpeleset di area kerja yang basah dan licin. Bahkan rompi reflektif yang seharusnya wajib dikenakan di area lalu lintas juga tidak konsisten digunakan.

“APD kadang dibagi, kadang tidak. Ada helm, tapi jumlahnya tidak cukup. Sepatu safety juga hanya untuk sebagian pekerja. Jadi banyak yang kerja dengan sandal atau sepatu biasa,” kata salah satu buruh.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri, yang mewajibkan perusahaan menyediakan dan memastikan pekerja memakai APD sesuai standar. Fakta di lapangan menunjukkan, kontraktor lebih memilih memangkas biaya APD ketimbang melindungi nyawa pekerja.

BPJN II Sumbar: Pengawas yang Lalai

Kritik tak berhenti pada kontraktor. Sorotan lebih tajam diarahkan kepada BPJN II Sumbar selaku pengawas proyek. Dengan nilai anggaran yang besar, BPJN II semestinya memastikan standar K3 diterapkan setiap hari, bukan hanya ketika ada inspeksi formal.

Namun fakta lapangan menunjukkan pengawasan longgar. Tidak ada teguran keras ketika petugas K3 tidak hadir. Tidak ada inspeksi mendadak yang menyentuh inti persoalan. Akibatnya, nyawa pekerja melayang di bawah radar pengawasan yang semestinya ketat.

“Kalau dari awal BPJN tegas, tidak mungkin ada petugas K3 absen seenaknya. Jangan tunggu ada korban baru ribut bicara aturan,” tegas seorang tokoh masyarakat Bungus.

Davit: Dari Tulang Punggung Keluarga Menjadi Korban

Davit bukan sekadar nama di laporan kecelakaan kerja. Ia seorang ayah, pekerja keras, yang rela bekerja sebagai buruh lepas demi sesuap nasi. Kini, ia harus menanggung penderitaan panjang akibat kecelakaan yang mestinya bisa dicegah.

Perusahaan memang menyatakan akan menanggung biaya pengobatan dan memberikan santunan Rp1 juta per bulan. Namun, luka yang dialami Davit bukan hanya di kaki, melainkan juga di batin. Ia kehilangan masa depan, sementara keluarganya kehilangan tulang punggung utama.

“Bagi kami, Rp1 juta itu tidak sebanding dengan derita yang harus ia tanggung,” kata seorang kerabat Davit.

Landasan Hukum: Jelas Tapi Dilanggar

Kasus Davit seharusnya menjadi alarm keras, sebab aturan tentang keselamatan kerja sudah diatur tegas:

  1. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

    • Pasal 3 ayat (1):

      “Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan terhadap tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya.”

    • Pasal 14 huruf (a):

      “Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan kepada tiap tenaga kerja baru tentang kondisi-kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, serta cara-cara mencegahnya.”

    • Pasal 15 ayat (2):

      “Barang siapa melanggar ketentuan dalam Undang-undang ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp100.000.”

  2. KUHP Pasal 359

    “Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

  3. UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023

    • Sanksi administratif: teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin usaha.
    • Hak pekerja/keluarga menuntut ganti rugi perdata.

Dengan dasar hukum ini, jelas kelalaian kontraktor bukan hanya urusan moral, tetapi juga pelanggaran hukum positif.

Potensi Sanksi Administratif: Ancaman Serius bagi Kontraktor

Selain ancaman pidana, kontraktor juga berpotensi menghadapi sanksi administratif berat. Jika terbukti berulang kali lalai, pemerintah dapat menjatuhkan hukuman berupa:

  • Teguran keras dari instansi terkait.
  • Penghentian sementara kegiatan proyek.
  • Bahkan pencabutan izin usaha apabila kelalaian dianggap membahayakan keselamatan publik secara sistematis.

BPJN II Sumbar pun tak lepas dari tanggung jawab. Gagalnya pengawasan bisa menjadi dasar evaluasi internal, bahkan pertanggungjawaban hukum bila terbukti membiarkan pelanggaran.

Momentum Tegakkan Aturan atau Tragedi Berulang

Kasus Davit adalah cermin buram proyek infrastruktur: pembangunan yang dibiayai uang rakyat, tapi mengorbankan rakyat kecil. Tanpa pengawasan yang serius, keselamatan buruh akan selalu dipertaruhkan.

Kini publik menanti langkah tegas: apakah kontraktor akan diberi sanksi nyata, dan apakah BPJN II Sumbar berani mengakui kelalaiannya? Atau kasus Davit hanya akan lewat sebagai “angka statistik” tanpa makna?

Sebab pembangunan sejati bukan hanya berdiri di atas beton dan baja, melainkan di atas penghormatan terhadap nyawa manusia.

TIM