SIJUNJUNG | Di balik papan proyek yang bertuliskan “Rekonstruksi Jalan”, pemandangan di lapangan memperlihatkan cerita lain yang jauh dari semangat pembangunan berkualitas. Proyek rekonstruksi yang menelan biaya besar justru lebih banyak diarahkan ke pembangunan bronjong di titik rawan longsor.
Namun ironisnya, kualitas bronjong yang diharapkan jadi penopang keselamatan masyarakat malah terindikasi dipenuhi penyimpangan: mulai dari material bekas hingga kayu penyangga yang ukurannya jauh lebih kecil dari standar rekomendasi pengawas, Sijunjung Senin 22 September 2025.
Tim investigasi kami menemukan indikasi kuat adanya praktik tak wajar yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam keselamatan pengguna jalan dan warga sekitar.
Material Lama untuk Proyek Baru
Berdasarkan foto dan kesaksian lapangan, terlihat jelas adanya penggunaan material lama dalam proyek ini. Batu bekas hingga kawat bronjong diduga dipasang ulang tanpa uji kelayakan.
Pertanyaan besar pun muncul:
- Material lama apa saja yang digunakan?
- Apakah ada izin resmi dari pemilik proyek atau instansi terkait?
- Bagaimana memastikan kekuatan material lama tersebut masih sesuai standar konstruksi?
Seorang narasumber menyebutkan, penggunaan material lama seringkali dipakai sebagai cara “menekan biaya”. Namun praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip pembangunan infrastruktur yang harus mengutamakan kualitas serta keselamatan.
Kayu Penyangga “Sejempol” untuk Bronjong
Tak kalah memprihatinkan, tim menemukan penggunaan kayu penyangga (cerucup) dengan ukuran jauh di bawah standar. Menurut ketentuan teknis, kayu penyangga seharusnya “sebesar lengan orang dewasa” agar kuat menopang susunan bronjong. Namun yang ditemukan justru hanya kayu “sebesar jempol”.
“Ini sangat berbahaya. Jika hujan deras datang dan aliran air menekan dinding bronjong, penyangga bisa ambruk kapan saja,” ungkap seorang pengawas teknis.
Pertanyaan kritis pun muncul:
- Mengapa instruksi pengawas tidak dipatuhi?
- Siapa yang memutuskan penggunaan kayu kecil ini?
- Apakah ada tekanan untuk menghemat biaya dengan mengorbankan standar keamanan?
Rekonstruksi Jalan, Bronjong yang Lebih Dominan
Ironinya, proyek yang dicatat dalam papan sebagai “rekonstruksi jalan” justru lebih banyak dialihkan pada pembangunan bronjong. Padahal nilai anggarannya sangat besar.
Publik pun bertanya-tanya:
- Mengapa biaya besar itu tidak tampak pada kualitas bronjong?
- Apakah ada indikasi pengalihan anggaran dari porsi jalan ke bronjong?
- Atau justru bronjong sengaja dipilih karena mudah “dimainkan” dalam kualitas material?
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa dominasi pembangunan bronjong tidak sebanding dengan kualitas hasil pekerjaan. Jalan yang seharusnya diperkuat dengan konstruksi kokoh justru rawan kembali terkikis bila bronjong yang menopangnya rapuh.
Risiko Nyawa dan Tanggung Jawab Hukum
Apabila bronjong gagal berfungsi akibat lemahnya material, dampak terburuk adalah longsor yang menutup akses jalan sekaligus mengancam nyawa warga.
Beberapa pasal yang berpotensi dilanggar:
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 59 ayat (1): penyedia jasa wajib menjamin mutu konstruksi sesuai standar teknis.
- UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 16 ayat (2): pembangunan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3: penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dipidana.
Indikasi pengurangan kualitas material serta potensi mark-up anggaran menempatkan proyek ini dalam kategori penyimpangan anggaran sekaligus tindak pidana korupsi.
Suara Publik: “Lebih Baik Tak Usah Dibangun”
Masyarakat sekitar proyek mulai resah. Mereka khawatir bronjong yang dibangun justru tidak mampu menahan erosi.
“Kalau memang pakai barang lama dan kayunya kecil begitu, lebih baik tidak usah dibangun. Sama saja buang-buang anggaran,” ujar seorang warga dengan nada kecewa.
Menuntut Transparansi dan Perbaikan
Kasus ini memperlihatkan betapa pembangunan infrastruktur bukan sekadar soal beton dan kawat, melainkan soal komitmen moral, transparansi, dan akuntabilitas. Publik berhak menuntut:
- Penggantian material lama dengan material baru sesuai standar.
- Penggunaan kayu penyangga (cerucup) sesuai instruksi pengawas.
- Audit independen atas kualitas pekerjaan.
- Penegakan hukum bila terbukti ada kesengajaan mengurangi kualitas proyek.
Pesan Akhir
Di tengah sorotan publik, pihak pelaksana proyek dan instansi terkait harus menjawab secara terbuka: Apakah benar pembangunan bronjong ini sekadar formalitas dan akal-akalan anggaran?
Jika tidak segera diperbaiki, proyek ini bisa menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan dan kecerobohan yang mempertaruhkan keselamatan masyarakat.
Hingga berita ini diterbitkan, awak media masih terus mengumpulkan data tambahan dan berupaya menghubungi pihak kontraktor pelaksana maupun instansi terkait untuk memperoleh klarifikasi resmi atas dugaan penyimpangan dalam proyek ini.
TIM
Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan laporan investigasi lapangan berdasarkan temuan awal dan keterangan sejumlah narasumber. Redaksi tetap membuka ruang klarifikasi bagi pihak kontraktor maupun instansi terkait agar berita ini berimbang dan sesuai prinsip jurnalisme.
Tunggu edisi selanjutnya...

0 Komentar