PADANG | Bayangan kejujuran seorang wakil rakyat kembali diuji. Seorang oknum anggota DPRD Kota Padang dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berinisial AA, yang juga dikenal sebagai pemilik salah satu swalayan ternama di Kota Padang, kini menjadi sorotan publik.

Dugaan serius diarahkan kepadanya — melakukan pernikahan siri dengan menggunakan status palsu.

Isu ini mencuat setelah ditemukan adanya perbedaan status perkawinan antara dokumen nikah siri dan data kependudukan resmi (KTP) milik yang bersangkutan.

Dalam dokumen nikah siri, AA tercantum berstatus duda, namun dalam catatan resmi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), ia masih terdaftar sebagai suami sah dari istri pertama.

Perbedaan data inilah yang menjadi awal dugaan kuat adanya pemalsuan dokumen administratif serta pelanggaran hukum pidana dan etika pejabat publik.

Langkah Awal Investigasi: Ketika Kebenaran Tak Dijawab Tegas

Senin, 6 Oktober 2025, sekitar pukul 15.00 WIB, awak media mencoba mengonfirmasi langsung kepada AA melalui pesan WhatsApp untuk meminta klarifikasi atas dugaan tersebut.
Pesan konfirmasi dikirim dengan sopan dan sesuai prosedur jurnalistik, namun jawaban yang diterima sangat singkat dan tidak substantif. AA hanya membalas:

“Kantor saya yg ada.”

Tidak ada bantahan, klarifikasi, atau penjelasan lanjutan.

Jawaban singkat itu justru menimbulkan tanda tanya besar — mengapa seorang pejabat publik enggan memberikan penjelasan terkait isu serius yang menyangkut integritasnya sendiri?

Upaya Klarifikasi Berlanjut: Ada Penelepon Bernama FR

Sekitar pukul 16.04 WIB, awak media menerima panggilan telepon dari seseorang berinisial FR, yang mengaku mengenal dekat AA.

Awak media yang mengenali suara penelepon tersebut kemudian menanyakan kapasitas FR dalam menghubungi redaksi.
FR menjawab dengan nada bertanya, “Ada apa awak media dengan AA?.

Awak media menjelaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas klarifikasi jurnalistik karena memperoleh informasi lapangan terkait dugaan penggunaan status palsu.

Namun, berdasarkan pengamatan redaksi, AA sempat membaca pesan WhatsApp dari awak media tetapi tidak menjawab pertanyaan, dan diduga justru meminta FR untuk menghubungi wartawan.

Langkah ini menimbulkan kesan bahwa pihak terkait enggan berkomunikasi langsung dan memilih perantara, tanpa memberikan penjelasan resmi.

Konfirmasi ke Ketua DPRD Kota Padang

Untuk menjaga keberimbangan pemberitaan, awak media juga menghubungi Ketua DPRD Kota Padang, Muharlion, guna memperoleh tanggapan resmi lembaga.
Pesan dikirim sekitar pukul 12.36 WIB, dan balasan diterima pada pukul 17.17 WIB.
Ketua DPRD menyampaikan:

“Sampai saat ini apak alun tau persoalan ini.”

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa belum ada laporan resmi masuk ke pimpinan DPRD, namun kasus ini sudah menjadi perhatian publik dan menuntut tindak lanjut internal agar marwah lembaga tetap terjaga.

Dugaan Pelanggaran Hukum dan Etika Publik

Perbedaan data antara dokumen nikah siri dan identitas kependudukan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan dokumen, sebagaimana diatur dalam:

  • Pasal 263 KUHP – Pemalsuan surat/dokumen (pidana 6 tahun)
  • Pasal 266 KUHP – Memberi keterangan palsu dalam akta otentik (pidana 7 tahun)
  • Pasal 279 KUHP – Menikah padahal masih terikat perkawinan sah (pidana 5 tahun)
  • Pasal 93 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 – Memberi keterangan palsu pada data kependudukan (pidana 6 tahun dan/atau denda Rp75 juta)

Selain aspek hukum, dugaan ini juga melanggar prinsip kejujuran dan etika publik sebagaimana diatur dalam:

  • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
  • Kode Etik DPRD Kota Padang, yang melarang anggota melakukan perbuatan tercela yang mencoreng martabat lembaga.

BPI KPNPA RI: “Pejabat Publik Gunakan Data Palsu Harus Diproses Hukum”

Ketua Umum BPI KPNPA RITubagus Rahmad Sukendar, menegaskan bahwa dugaan manipulasi data oleh pejabat publik tidak bisa dianggap sepele.

“Kalau benar seorang pejabat publik menggunakan status palsu untuk kepentingan pribadi seperti menikah siri, itu bukan sekadar kesalahan moral — tapi pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 266 KUHP,” tegas Tubagus Sukendar.

Ia menambahkan, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu:

“Hukum tidak boleh tumpul ke atas. Seorang wakil rakyat harus menjadi teladan kejujuran, bukan justru mempermainkan data resmi negara.”

BPI KPNPA RI mendesak aparat penegak hukum untuk menelusuri keabsahan dokumen dan status hukum AA, demi menjamin supremasi hukum berjalan setara bagi semua warga negara.

Dampak terhadap Citra DPRD dan Kepercayaan Publik

Kasus ini menjadi cermin bagi DPRD Kota Padang — lembaga yang seharusnya menjaga moral politik dan keteladanan publik.

Jika benar dugaan penggunaan status palsu terbukti, maka kepercayaan publik terhadap wakil rakyat akan runtuh.

Seorang pengamat politik Universitas Andalas menilai:

“Manipulasi status pribadi oleh pejabat publik bukan sekadar pelanggaran etika, tapi pukulan telak terhadap citra lembaga legislatif itu sendiri.”

Ketika Privasi Tak Lagi Pribadi

Meski pernikahan adalah urusan personal, ketika dilakukan dengan menggunakan dokumen negara yang diduga palsu, maka itu telah berubah menjadi urusan publik dan hukum.

Seorang aktivis hukum perempuan di Padang menyebut.

“Pejabat publik milik rakyat. Tidak ada ruang privasi jika tindakan pribadinya melibatkan manipulasi dokumen negara.”

Reaksi Masyarakat: “Hukum Harus Tegak”

Masyarakat menilai kasus ini menjadi ujian keadilan hukum.

“Kalau rakyat biasa bisa diproses karena data palsu, mestinya pejabat pun diperlakukan sama,” ujar warga Nanggalo kepada awak media.

Publik berharap aparat dan DPRD Kota Padang tidak diam dan segera mengambil langkah tegas untuk menjaga kehormatan lembaga.

Upaya Konfirmasi dan Sikap Redaksi

Awak media telah berupaya melakukan konfirmasi langsung kepada AA melalui pesan dan panggilan pada Minggu (5/10/2025), namun hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan resmi.
Redaksi tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan akan memuat klarifikasi atau hak jawab apabila AA atau pihak terkait memberikan keterangan tertulis.

Catatan Redaksi

Berita ini disusun berdasarkan hasil investigasi, penelusuran dokumen resmi, serta konfirmasi langsung kepada pihak-pihak terkait.

Redaksi tetap membuka ruang hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (11) dan (12), serta akan memperbarui pemberitaan apabila terdapat klarifikasi atau temuan baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etik.

Bersambung.....

TIM