Pekanbaru, Riau | Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, seakan tak pernah benar-benar berhenti. Alih-alih berkurang, aktivitas tambang ilegal justru kian masif dan terang-terangan, bahkan menggunakan alat berat jenis eskavator di sejumlah titik sepanjang aliran sungai Kuantan.
Padahal, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per November 2024 mencatat sedikitnya 2.000 titik PETI tersebar di seluruh Indonesia. Akibat aktivitas tambang ilegal tersebut, negara diperkirakan merugi hingga triliunan rupiah setiap tahun — baik dari potensi pajak, kerusakan lingkungan, hingga hilangnya sumber daya alam yang tidak tercatat.
Koordinasi Lemah dan Pembiaran Sistemik
Seorang pengamat hukum dan kebijakan pertambangan di Pekanbaru, Andika, menilai akar persoalan PETI terletak pada koordinasi antar lembaga yang masih lemah, serta adanya pembiaran yang sudah berlangsung lama.
“Ada beberapa faktor mengapa PETI masih terus terjadi. Pertama, ini soal koordinasi yang lemah antara Kementerian ESDM, KLHK, Kementerian Kehutanan, dan pemerintah daerah. Lalu yang kedua, soal pembiaran. Banyak pihak tahu, tapi tak ada tindakan nyata,” ujar Andika kepada media.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kewenangan perizinan tambang memang berada di tangan pemerintah daerah. Namun setelah regulasi itu berlaku, izin usaha pertambangan kembali ditarik ke pemerintah pusat melalui ESDM.
Sayangnya, perubahan kebijakan itu belum dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat di lapangan.
“Aktivitas PETI sebenarnya kasat mata. Penegakan hukumnya yang lemah, bukan aturannya,” tegas Andika.
Dugaan Beking Oknum dan Permainan Dana Besar
Fakta di lapangan menunjukkan, praktik tambang ilegal tak jarang melibatkan jaringan kuat, mulai dari pemodal (cukong), operator alat berat, hingga oknum aparat yang diduga memberikan perlindungan.
Seorang anggota tim investigasi media di Kuansing mengungkapkan bahwa masyarakat sudah lama mencurigai adanya keterlibatan oknum tertentu di balik lancarnya aktivitas PETI di wilayah tersebut.
“Masyarakat menilai, para pelaku PETI bisa bekerja dengan leluasa karena merasa dibekingi oknum aparat, termasuk oknum TNI atau Polri. Kalau tidak ada dukungan kuat, mustahil aktivitas sebesar itu bisa berlangsung lama,” katanya.
Kendati demikian, ia juga mengapresiasi langkah Polda Riau yang baru-baru ini melakukan operasi penertiban terhadap tambang ilegal di sejumlah kecamatan di Kuansing.
“Kami apresiasi operasi yang dilakukan Polda Riau, tapi penindakan saja tidak cukup. Harus ada strategi pencegahan yang sistematis dan berkelanjutan,” tambahnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Maraknya PETI juga tak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi masyarakat. Di banyak daerah, tambang ilegal dianggap sebagai jalan pintas untuk bertahan hidup di tengah tingginya angka pengangguran dan minimnya lapangan kerja formal.
Namun di balik itu, kerusakan lingkungan menjadi bom waktu. Sungai yang tercemar, lahan rusak, dan hutan gundul menjadi pemandangan biasa di lokasi tambang ilegal. Ironisnya, masyarakat kecil justru sering dijadikan kambing hitam, sementara para pemodal besar jarang tersentuh hukum.
“Di balik PETI ada uang besar yang mengalir. Ada pemodal, jaringan perdagangan, bahkan pasokan bahan bakar dan peralatan berat. Ini bukan kegiatan kecil,” tegas Andika.
Kerugian Negara dan Ancaman Lingkungan
Menurut UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, penegakan hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kerusakan lingkungan akibat PETI juga menimbulkan risiko jangka panjang: hilangnya sumber air bersih, bencana longsor, serta turunnya kualitas tanah dan ekosistem sungai.
Masih Akan Terus Berulang
Pola aktivitas PETI sebenarnya tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Ia akan marak ketika harga emas dan batu bara naik, lalu menyebar di banyak daerah.
Bahkan, wilayah calon Ibu Kota Nusantara (IKN) pun tak luput dari praktik serupa. Satgas-satgas sudah dibentuk, namun pemberantasan PETI masih sulit menembus akar masalahnya: uang dan kekuasaan.
“Selama tidak ada reformasi serius dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi di sektor pertambangan, PETI hanya akan berganti wajah dan lokasi, tapi tetap hidup,” pungkas Andika.
Bersambung...
TIM

0 Komentar