PASAMAN BARAT | Kasus hukum yang menjerat ZAIDIR, petani plasma Kinali sekaligus Ketua Koperasi Produsen Perkebunan Agro Wira Masang (KOPBUN-AWM), kian memanas. Dalam sidang pledoi di Pengadilan Negeri Pasaman Barat, Senin (27/10), Thamrin, SH, kuasa hukum terdakwa, dengan tegas menyebut kasus yang dihadapi kliennya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap petani plasma.

“Ini murni kriminalisasi. Klien kami melakukan panen sawit di lahan plasma resmi dengan pengawalan kepolisian, tapi malah dituduh mencuri. Ada sesuatu yang tidak beres dalam proses hukum ini,” tegas Thamrin di hadapan majelis hakim.

Ia menyoroti adanya kekeliruan fatal dalam penerapan Pasal 363 KUHP yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurutnya, tuduhan pencurian tidak dapat diterapkan karena lahan dan hasil panen tersebut merupakan bagian dari kemitraan plasma antara petani dan perusahaan. “Pasal pencurian hanya bisa dipakai jika barang itu bukan dalam penguasaan pelaku. Dalam kasus ini, ZAIDIR justru memiliki hak atas sawit itu sebagai petani plasma,” ujarnya.

Lebih jauh, Thamrin mengungkapkan bahwa tindakan ZAIDIR bahkan dilakukan dengan pengamanan resmi dari Polda Sumatera Barat. “Ironinya, panen yang dikawal aparat negara justru dianggap pencurian. Ini bukan sekadar kekeliruan hukum, tapi keanehan yang mengarah pada rekayasa,” katanya.

Dalam pledoi setebal puluhan halaman itu, Thamrin juga mendesak Kadiv Propam Mabes Polri untuk turun tangan mengusut dugaan keterlibatan oknum aparat yang diduga bermain mata dengan pengurus KOPBUN-AWM. “Kami meminta Propam Mabes Polri mengusut tuntas anggota kepolisian yang diduga kongkalikong dengan pengurus koperasi kebun AWM. Ada indikasi kuat bahwa proses hukum ini tidak berjalan murni,” tegasnya.

Thamrin mengungkapkan, berdasarkan data yang mereka pegang, ketua koperasi yang menggugat ZAIDIR adalah seorang oknum ASN aktif, yang secara etik tidak seharusnya terlibat dalam urusan kemitraan usaha. “Ini aneh, ada oknum ASN yang malah memimpin koperasi dan menggugat petani peserta plasma. Ini jelas konflik kepentingan,” ujarnya dengan nada tinggi.

Dalam fakta persidangan, Thamrin menyampaikan bahwa perbuatan kliennya bukan tindakan memperkaya diri, melainkan perjuangan menegakkan hak petani plasma yang sudah bertahun-tahun tak mendapat kejelasan. “ZAIDIR hanya menuntut haknya sebagai petani plasma sesuai dengan SK Bupati Pasaman tahun 1998. Kalau ini masih disebut pencurian, maka keadilan sudah kehilangan arah,” paparnya.

Ia meminta majelis hakim menggunakan hati nurani dalam memutus perkara ini. “Fakta di lapangan sudah jelas. Tidak ada niat jahat, tidak ada upaya memperkaya diri. Klien kami justru berjuang agar petani plasma bisa hidup layak dan mendapatkan bagi hasil yang dijanjikan sejak awal kemitraan,” tutur Thamrin.

Terpisah, salah seorang pengurus KOPBUN-AWM saat dihubungi media ini mengatakan pihaknya tetap menyerahkan proses hukum kepada aparat penegak hukum. “Kami serahkan kepada pihak berwenang, karena perbuatan para terdakwa dianggap merugikan koperasi,” ujarnya singkat.

Namun pernyataan itu tak meredam gelombang kritik publik. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat di Pasaman Barat menilai bahwa kasus ini menjadi gambaran buram hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti yang sering tidak adil. “Kalau petani plasma yang mengolah lahan malah dipenjara, sementara perusahaan dan pengurus koperasi yang menelantarkan hak mereka bebas, maka ini tragedi hukum,” ujar salah seorang tokoh warga Kinali.

Sidang berikutnya akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan putusan oleh majelis hakim. Publik kini menunggu apakah pengadilan akan berpihak pada keadilan substantif atau sekadar menegakkan teks hukum secara kaku tanpa mempertimbangkan fakta sosial.


Catatan Redaksi:
Kasus ZAIDIR membuka tabir gelap praktik kemitraan plasma sawit di berbagai daerah. Jika benar ada kongkalikong antara aparat penegak hukum dengan pengurus koperasi, maka keadilan bagi petani kecil terancam sirna. Mabes Polri dan lembaga pengawas harus turun tangan agar hukum tidak lagi menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil yang berjuang di tanahnya sendiri.